Rabu, 10 Juni 2015

Resume Belajar Gender dalam Sastra


Pada tulisan ini saya akan menyampaikan apa saja yang saya dapatkan di mata kuliah gender dalam sastra semester v. Rasanya terlalu dini jika saya menulis ini karena saya belum menyelesaikan masa studi mata kuliah ini. Tapi semoga bermanfaat dan menambah wawasan kalian pada masalah gender.

1. Feminisme
Menurut saya feminisme adalah sebuah paham yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Jika dikaitkan, feminisme dekat dengan kesetaraan gender, di mana kaum perempuan menuntut untuk bisa berpartisipasi dalam hal pendidikan, karir, politik dan lain-lain. Orang yang  memperjuangkan masalah feminisme disebut feminis (kalau dalam bahasa inggris disebut feminist).

2. Budaya
Feminisme berasal dari barat, jika mengacu pada literatur yang saya baca, awal berkembangnya feminisme dari Amerika lalu menyebar ke Eropa dan seterusnya sampai ke negara-negara lainnya. Jika mengacu pada pengamatan saya, paham ini sebenarnya tidak benar-benar diterima oleh masyarakat non-edukatif, karena mereka masih berpegang pada konsep feodal, di mana ruang lingkup perempuan dibatasi, mereka hanya diperbolehkan mengurusi dapur, sumur dan kasur. Saya menyimpulkan bahwa budaya menjadi penghalang berkembangnya feminisme, dengan aturan-aturan tak tertulis namun sudah diberlakukan sejak lama, perempuan akan berada di mana mereka tidak bisa melakukan apa yang dilakukan laki-laki saat ini.

3. Konsep seks dan gender
Sedikit yang saya tahu tentang dua hal ini (seks dan gender). Dua hal ini kadang menjadi miskonsepsi di kalangan masyarakat awam. Konsep seks mengacu pada struktur fisik dan biologis seorang individu yang membedakan laki-laki dan perempuan, konsep seks tidak berkenaan dengan faktor eksternal atau struktur sosial. Konsep gender adalah seperangkat peran, atribut, perilaku yang melekat pada seorang individu di mana seorang individu telah dikonstruksikan oleh keluarga dan masyarkat untuk menjadi laki-laki atau perempuan. Bentuk konstruksi yang dilakukan bisa kita lihat bagaimana seorang individu diberikan mainannya waktu kecil. Kalau anak perempuan diberikan boneka dan mainan masak-masakan sedang anak laki-laki diberikan mobil-mobilan atau pistol mainan.

4. Perempuan tidak ingin dianggap sebagai objek seksualitas
Dianggap tabu jika saya membicarakan ini dengan masyarakat yang masih konvensional, dan tentunya dianggap sembrono. Seperti yang pernah disinggung dalam film Perempuan Berkalung Sorban,  di mana ada sebuah scene yang menampilkan seorang istri (Anisa) yang menolak untuk ber-jima dengan suaminya, lalu sang suami (Syamsudin) menerangkan bahwa istri yang menolak akan menerima azab menurut dalilnya (hadist). Dari kasus di atas jelas saya lihat bahwa perempuan tidak diperlakukan sebagai partner hidup si suami, melainkan sekadar objek seksual saja. Perlu diketahui juga bahwa praktik perbudakan dan jual-beli perempuan pernah terjadi di Yunani sejak lama, begitupun di Arab.

Jika kita adalah kaum akademisi maka tidaklah kita menyikapi gender dengan perspektif yang sempit, kajian ini tentu sangat bermanfaat bagi kita semua dalam menjalani kehidupan dan menganggap perempuan bukan lagi sebuah objek, melainkan perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Saya pribadi sangat setuju jika laki-laki juga mengerjakan pekerjaan yang biasa dilakukan perempuan seperti mencuci, memasak, membersihkan rumah serta merawat anak dan lain-lain. Tetapi tetap saja laki-laki tidak bisa melahirkan dan menyusui anaknya, peran ini tak tergantikan, dan hanya dimiliki perempuan yang memiliki kemampuan untuk menyusui dan melahirkan anak. 4 poin ini masih dirasa kurang merefleksikan bagaimana gender dalam sastra itu, tentu tidak bisa dijadikan patokan atau tolak ukur, teman-teman akademisi bisa mencari refrensi tentang gender yang lebih mendalam lagi dalam membahas gender.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar