Jumat, 12 September 2014

Main Mata

         Senja datang menarik fajar tuk tenggelam, menyimpan sinarnya tuk hari esok. Bergantilah bulan yang malu-malu bersinar. Malam ini kita akan beradu mata membayar janji. Tentang bilik rumahmu yang jadi saksi, mata liarku menikmati mata indahmu yang hitam bulat.

"Aku arep teka ning omahmu bar isya ndo" dan ia berkata "njeh mas", ia mendadak pemalu kala mataku menatap rupa ayunya. Aku berdosa? Biarlah, toh cuma mata yang aku nikmati darinya, tak takut aku nasihat ustad yang mengatakan saling tatap dalam waktu yang lama itu dosa.

Ba'da isya, kutinggalkan doa dan dzikirku, menanggalkan peci dan tasbih di surau yang sesak ini. Kukendarai kaki ini menuju belakang rumahnya, perlahan laksana maling menuju target, napas mulai tak beraturan ngalor ngidul dan tangan mulai bergetar.

Srek.... Srek suara rumput yang tergilas sendal jepit, mulai cemas aku merasa seperti maling, sarung sudah terjebak di kepala menutup wajah.

"kriik ...krik... Kriik" bibir ini menirukan suara jangkrik, "kriik. . Kriik.. Kriik" pasti dia mengerti dari suara jangkrik ini. Terdengar suara sedikit gaduh dari dalam kamarnya, entah apa yang terjadi. "Dep... Dep" suara bilik yang diketuk, ternyata dia menepati janjinya.

Yang ku lihat? Sedikit, hanya potongan hijab merah, lesung pipi dan aku tahu siapa pemiliknya.

"Sit, Siti aku wis teko"
Ia membalasnya lewat suara halus pasrah, "njih mas iki aku".
Mataku kunavigasikan ke arah lubang bilik. Alamak mataku berjinah lagi, ia membalas tatap mataku. Kuistirahatkan kata-kata sejenak.

Aku nikmati takut, senang dan alunan nafas yang tak punya aturan. Hitam bulat dihiasi bulu mata penahan debu yang dikelilingi kulit putih kecoklatan, aku anggap dia peri yang lahir dari tumbangnya bintang yang mulai redup. Kalau begini aku akan membunuh bapaknya, tak ada restu tak apa, pokoknya dia milikku.

"Ndo jari telunjukmu ndo, aku arep nyekel" ia tak membalas ucapku tapi jarinya, jari telunjuknya mulai keluar dari lubang bilik dan ku sentuh. Tidak, tidak aku sentuh tapi aku jamah dan ku genggam.

Barisan kata-kata ustad itu kembali datang meracuni pikiran, "ingat dosa ya le". Dan aku berkata,
"Ndo bapakmu tak pateni yo, mumet aku karo ceramah bapakmu".